Perayaan Takbiran: Antara syiar dan kemaksiatan
pertanyaannya adalah, apakah takbir yang kita lantunkan benar-benar sesuai dengan ajaran Islam?

Malam takbiran selalu menjadi momen yang dinantikan oleh umat Islam. Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, tibalah saatnya kita mengagungkan nama Allah dengan lantunan takbir yang menggema di seluruh penjuru. Namun, pertanyaannya adalah, apakah takbir yang kita lantunkan benar-benar sesuai dengan ajaran Islam?
Malam takbiran seharusnya menjadi momen sakral bagi umat Islam, di mana lantunan takbir menggema di langit sebagai bentuk pengagungan kepada Allah SWT. Ini adalah waktu untuk bersyukur atas nikmat Ramadhan, memperbanyak kalimat takbir, dzikir, dan doa. Sayangnya, realitas di beberapa tempat menunjukkan bahwa perayaan takbiran terkadang berbanding terbalik dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam.
Takbir yang seharusnya menjadi syiar keimanan di beberapa tempat bergeser menjadi ajang hura-hura. Takbir yang dahulu dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan kesederhanaan kini, di beberapa daerah, berubah menjadi konvoi liar yang sarat dengan aksi ugal-ugalan di jalan. Hal ini bukan hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga dapat mengganggu ketertiban umum. Suara petasan dan knalpot bising menggantikan lantunan takbir yang khusyuk, sementara sebagian anak muda menjadikan malam takbiran sebagai waktu untuk berjoget di jalan, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa batasan.
Lebih parah lagi, ada yang menjadikan malam takbiran sebagai ajang pesta pora, bahkan sampai terjerumus dalam kemaksiatan dan pergaulan bebas. Padahal, kemenangan sejati bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan keberhasilan menundukkan hawa nafsu. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan hakiki terletak dalam kedekatan kepada Allah, bukan dalam euforia yang berlebihan.
Ke Mana Hilangnya Pemahaman Islam yang Sejati?
Fenomena ini mengundang pertanyaan besar: apakah pendidikan Islam telah gagal membentuk karakter umatnya? Ataukah kita yang mulai abai terhadap ajaran-ajaran Islam? Mengapa sebagian dari kita masih memahami takbiran sebatas ritual tanpa ruh, sehingga perayaannya justru dipenuhi dengan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam?
Islam bukan hanya mengajarkan ritual ibadah, tetapi juga menanamkan akhlak dan kedisiplinan. Jika setelah sebulan berpuasa seseorang masih tidak bisa mengendalikan dirinya dari tindakan sia-sia dan maksiat, maka ada yang perlu dievaluasi dalam pemahaman agamanya. Rasulullah sendiri mencontohkan bagaimana malam takbiran seharusnya diisi dengan memperbanyak dzikir dan doa agar amalan yang telah kita lakukan selama Ramadan diterima oleh Allah, bukan malah dengan melakukan tindakan yang merusak moral. Bahkan, Rasulullah dan para sahabat ketika Ramadhan akan berakhir merasakan kesedihan yang mendalam. Mereka khawatir apakah amal ibadah mereka selama bulan Ramadhan diterima oleh Allah atau tidak. Ini menunjukkan bahwa malam takbiran seharusnya menjadi momen muhasabah, bukan sekadar ajang perayaan tanpa makna.
Sebagai umat Islam, sudah saatnya kita kembali memahami makna takbiran yang sesungguhnya. Jangan sampai kita justru menunjukkan kebodohan di hadapan dunia dengan perayaan yang tidak mencerminkan nilai-nilai Islam. Malam takbiran seharusnya menjadi ajang refleksi diri, bukan sekadar perayaan yang menghilangkan esensi ibadah yang telah kita jalani selama sebulan penuh.
Mengembalikan Takbiran ke Makna Sejatinya
Untuk mengembalikan makna takbiran yang sejati, diperlukan kesadaran kolektif dari berbagai pihak. Peran keluarga sangat penting dalam mendidik anak-anak agar memahami bahwa takbiran bukanlah ajang hura-hura, melainkan ibadah yang sarat makna. Orang tua perlu memberi contoh dengan mengajak anak-anak mereka bertakbir dengan khusyuk di rumah atau masjid.
Tokoh agama dan pemuka masyarakat juga harus lebih aktif dalam memberikan pemahaman kepada jamaahnya. Ceramah menjelang malam takbiran bisa menjadi sarana untuk mengingatkan bahwa kemenangan sejati bukanlah pesta pora, melainkan peningkatan kualitas iman dan takwa.
Selain itu, pemerintah dan aparat keamanan dapat mengambil langkah preventif dengan mengadakan takbir bersama di masjid-masjid atau ruang publik yang lebih tertata, sekaligus membatasi aktivitas yang berpotensi mengarah pada kemaksiatan.
Mari kita renungkan, apakah cara kita merayakan takbiran selama ini sudah sesuai dengan ajaran Islam? Ataukah kita justru sedang menunjukkan betapa jauhnya kita dari nilai-nilai agama yang seharusnya kita pegang teguh?
Jangan sampai takbir yang kita lantunkan hanya sekadar ucapan tanpa makna, sementara perilaku kita bertentangan dengan esensi Islam. Mari introspeksi diri: apakah kita sedang merayakan kemenangan atau justru merayakan kehancuran moral kita sendiri?