Ancaman Seksual Dalam Selimut Kekeluargaan
Di balik algoritma dan layar ponsel, ada ruang gelap yang membahayakan masa depan anak-anak kita. Komunitas seperti Fantasi Sedarah adalah alarm bahwa kita sedang menghadapi krisis moral serius

Akhir-akhir ini media sosial kembali mendapat coretan hitam oleh tragedi moral. Sebuah komunitas daring bernama Fantasi Sedarah membungkus kebejatan dalam istilah kekeluargaan.
Fantasi sedarah adalah salah satu dari banyaknya grup yang menyuguhkan konten seksual yang dilakukan terhadap anggota keluarganya sendiri. Bukan sekadar penyakit pikiran, ini adalah bentuk kekerasan yang nyata dan sistematis, bersembunyi di balik akun anonim dan algoritma platform sosial media.
Angka partisipan dalam grup semacam ini bukan hanya sekadar data statistik. Ia adalah cermin buram dari potret masyarakat kita yang sedang sakit, dimana batas antara naluri dan nafsu dilebur tanpa malu. Bayangkan, seorang ayah yang semestinya menjadi pelindung justru menjadi predator, saudara kandung yang harusnya berbagi kasih, malah berbagi niat cabul. Tak ada lagi ruang yang benar-benar aman ketika kekerasan mengakar di tempat yang paling kita percaya "rumah sendiri.
Ironisnya, banyak dari para pelaku menyamarkan aktivitas mereka sebagai sekadar permainan imajinasi atau selera pribadi. Padahal, fantasi menyimpang ini tidak hanya melukai nilai-nilai kemanusiaan, tapi juga berpotensi menjerumuskan korban terutama anak-anak ke dalam jeratan pelecehan fisik yang tak jarang luput dari deteksi hukum. Di balik layar ponsel masyarakat kita, ternyata ada ruang gelap yang menyimpan potensi kejahatan seksual terhadap anak. Terutama saat aparat penegak hukum, perusahaan teknologi, dan masyarakat sipil belum bertindak secepat yang dibutuhkan.
Ketika satu grup dibubarkan, yang lain bisa saja tumbuh dalam gelap. Inilah saatnya kita berhenti melihat kekerasan seksual sebagai kasus per kasus, dan mulai menyorot akar masalahnya. Kita sedang berhadapan dengan krisis nilai yang akut, generasi yang gagal mengenal empati, tumbuh dalam minimnya edukasi seksual, dan dikelilingi oleh budaya diam yang membungkam suara korban.
Sudah waktunya pendidikan seksual tidak lagi dipersempit menjadi materi kelas biologi. Kita butuh pembicaraan yang jujur dan terbuka tentang batasan tubuh, hak atas diri, dan bagaimana mengenali serta melawan bentuk kekerasan, bahkan jika pelakunya adalah orang terdekat. Sudah saatnya orang tua membuka ruang diskusi yang sehat soal perlindungan anak, tanpa rasa canggung.
keterbukaan adalah vaksin terhadap predator yang memanfaatkan kebodohan dan ketakutan Peran media sangat penting bukan hanya sebagai penyampai informasi, tapi sebagai pembentuk kesadaran kolektif. Komunitas digital, organisasi masyarakat, dan lembaga pendidikan harus berani menyuarakan bahwa tidak ada tempat bagi kekerasan seksual, terlebih dalam bentuk penyimpangan yang mencatut nama keluarga. Kita butuh platform yang berpihak pada keamanan, bukan algoritma yang membiarkan konten busuk menjamur karena engagement tinggi.
Di tengah teknologi yang terus berkembang, kita tidak boleh lupa bahwa moralitas tidak bisa diajarkan oleh mesin. Ia tumbuh dari kesadaran kolektif, keberanian untuk bersuara, dan keengganan untuk kompromi terhadap kejahatan sekecil apa pun. Diam bukanlah netral, diam adalah bagian dari kejahatan itu sendiri.
Menjaga anak-anak kita bukan hanya tugas biologis, tetapi juga amanah sosial. Tidak ada toleransi bagi kekerasan terhadap anak. Tidak ada kompromi terhadap penyimpangan yang merusak masa depan mereka. Mari bangun keluarga yang berintegritas. Mari kuatkan sistem perlindungan anak di semua lini. Dan mari lawan segala bentuk kejahatan seksual, terutama yang menyasar mereka yang paling lemah dan tak berdaya.
Anak adalah titipan dan setiap titipan akan dimintai pertanggungjawaban. Apakah masih punya cukup keberanian untuk melindungi anak-anak kita dari dunia yang kian kehilangan akal sehatnya?